Feeds:
Posts
Comments

Archive for March, 2010

Mereka yang Terpinggirkan

 

Mereka yang paling pertama disingkirkan

Katanya, mereka tidak punya skill di bidang apapun.

Mereka bukan entrepreneur,

tidak ada produktivitas ekonomi apapun yang bisa mereka ciptakan.

Apalagi technopreneur, sama sekali bukan maqom mereka

tak ada teknologi apapun yang bisa diharapkan lahir dari tangan mereka.

 

Jumlah mereka sungguh sangat banyak,

amat banyak dan jauh lebih banyak.

Setiap hari terjadi penolakan besar-besaran kepada mereka,

oleh arus kemajuan dunia yang dianggap modern ini.

Mereka tersingkir dari arus itu

Terjadi marjinalisasi atas diri mereka.

 

Mereka masyarakat bernutrisi rendah

Pendidikan mereka tak pernah membumi

Kesehatan mereka terabaikan

Daya nalar mereka sangat pas-pasan.

Akan tetapi,

tingkat emosi dan agresivitas mereka semakin meningkat

dan terus meningkat.

 

Dari hari ke hari, dari waktu ke waktu

Mereka semakin terbuang dari arus zaman.

Mereka dipaksa oleh zaman

Mereka berbondong-bondong menepi

Menuju pinggiran sejarah.

 

Dalam perjalanan minggir itu

Mereka memikul rasa dendam di punggung mereka.

Dalam relung jiwa mereka

Tumbuh semacam ranjau

Yang sewaktu-waktu bisa meledak

Menjadi ledakan yang berapi-api.

 

Mereka itu; mungkin kita

Mungkin juga aku, engkau, atau kalian.

Yang berpuluh-puluh tahun dianak yatimkan oleh zaman

oleh politik, oleh ekonomi

oleh budaya, oleh tradisi

oleh ideologi.

 

Read Full Post »

Judul Buku : Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam
Penulis : Asrori S. Karni
Penerbit : PT Mizan Pustaka, Bandung
Cetakan : I, 2010
Tebal : xiii + 426 halaman
Peresensi : Fatkhul Anas*)

Geliat kaum santri melakukan pengembaraan intelektual sungguh luar biasa. Kaum santri tidak lagi menjadi manusia yang puas hanya dengan sarung dan kitab kuning. Mereka memiliki cita-cita tinggi dan ingin menjelajah keilmuan modern di luar pesantren. Hal ini tidak lepas dari perkembangan zaman yang menuntut setiap manusia bergerak cepat. Sedikit saja lengah atau mengabaiakan kesempatan, maka peluang-peluang emas akan terlewatkan. Sebagaimana petuah Ronggowarsito bahwa di zaman edan, siapa yang tidak edan tidak kebagian. Tapi, seberuntung-beruntungnya orang edan, adalah mereka yang senantiasa eling (sadar) dan waspada. Jangan sampai hanya terjebak pada kenikmatan sesaat yaitu sekedar kenikmatan duniawi.

Nampaknya, kaum santri ingin menjadi orang yang eling tersebut. Ini karena mereka dibekali dengan pengetahuan ad-din (agama) sebagai penyangga kehidupan agar tidak terjebak dalam kubangan hedonisme semata. Dengan bekal tersebut, mereka telah siap menceburkan diri ke dalam hiruk-pikuk kehidupan di era modern agar tidak tertinggal zaman. Disinilah para santri diuji untuk membuktikan kemampuannya bersaing dengan kawan-kawan lain yang notabene non-santri. Pertarungan di kancah keilmuan pun berlangsung hangat dan menantang. Inilah wajah baru pendidikan Islam di era kontemporer.

Lebih lanjut, Asrori S. Karni dalam buku Etos Studi Kaum Santri; Wajah Baru Pendidikan Islam, memotret fenomena santri yang sukses meraih kursi di Universitas ternama. Buku yang akan kita kupas ini, juga mengangat keberhasilan pendidikan Islam, baik Pesantren, Madrasah, maupun Universitas di segenap penjuru tanah air. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari kerjasama berbagai pihak, termasuk pemerintah. Sebelumnya, pendidikan Islam hanya dianggap sebagai pelengkap saja. Bertahun-tahun, pendidikan Islam terutama pesantren, sama sekali tidak mendapat pengakuan sebagai bagian dari pendidikan nasional.

Bertahun-tahun pesantren dan pendidikan Islam lain selalu terpinggirkan. Padahal, telah ratusan tahun pesantren memberi kontribusi positif bagi generasi bangsa. Pesantren adalah pendidikan yang selalu terbuka untuk semua kalangan. Siapa pun asal memiliki kemuan, boleh masuk pesantren tanpa dipandang seberapa besar kemampuan ekonominya. Para Kyai telah mendidik putra-putri bangsa dengan tulus ikhlas tanpa mengharap bayaran. Sungguh sangat ironis jika kenyataan ini diabaikan oleh pemerintah. Apalagi generasi pesantren telah terbukti mampu memimpin Negara seperti Gus Dur, Hamzah Haz, dan lainnya.

Beruntunglah pemerintah saat ini mulai terbuka dengan pesantren dan bisa mengurangi diskriminasinya. Sejak dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pesantren dan Madrasah diakui menjadi bagian integral dari pendidikan nasional. Pengakuan tersebut dibuktikan dengan adanya regulasi yang setara, program-program, serta asupan dana dari APBN. Berbagai beasiswa banyak diberikan Depag kepada sejumlah pesantren yang memiliki sekolah formal agar para lulusannya bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi.

Kisah sukses para santri di Perguruan Tinggi ternama saat ini bukan lagi omong kosong. Sebagaimana disebutkan dalam buku ini, ada santri lulusan Pondok Pesantren Khusnul Khatimah, Jalaksana, Kuningan Jawa Barat, bisa masuk ke ITB Bandung. Ia adalah Muhammad Reza Akbar, putra dari pedagang plastik di Pasar Tradisional Cidadas, Bandung. Jika melihat ekonomi keluarga, Reza tidak mungkin berharap kuliah. Beruntung ia bisa mengikuti tes seleksi beasiswa Depag dan bisa masuk ke ITB Bandung. Selain Reza, ada juga Ahmad Adhim, santri asal Pesantren Matholiul Anwar, Lamongan. Ia bersama kawan-kawan santri lainnya berhasil masuk ITS Surabaya dari beasiswa Depag (hal 166).

Terkait prestasi para santri di Perguruan Tinggi, rupanya mereka tidak kalah saing dengan mahasiswa yang berasal dari SMU. Bahkan diantara mereka ada yang mampu meraih skor penuh : 4. Hal ini sebagaimana diraih oleh Yahman Faojio, santri lulusan MA di Pesantren Raudlotul Ulum, Pati, Jawa Tengah. Ia berhasil masuk IPB dan menggondol IP 4. Tentu saja ini menjadi kejutan bukan hanya bagi pesantren Raudlotul Ulum, tapi juga bagi IPB sendiri. Ini juga membuktikan bahwa generasi santri mampu bersaing dengan generasi lain yang notabene dari pendidikan umum. Meskipun diantara mereka juga ada yang kesulitan untuk beradaptasi sehingga mendapat IP kurang memuaskan. Tetapi semua itu adalah proses sehingga membutuhkan keuletan dan ketekunan.

Selain kisah sukses para santri, banyak juga pesantren yang mampu mengembangkan pendidikannya sehingga mendapat status Mu’adalah (persamaan). Misalnya, Pesantren Sidogiri Pasuruan, Pesantren Mbah Hamid Pasuruan, Pesantren Pabelan Magelang, dan Pesantren Darussalam Garut. Adanya status Mu’adalah ini, sangat memudahkan para lulusan pesantren melanjutkan ke pendidikan formal atau mendaftar jadi PNS. Kendala ijazah sebagaimana lazim terjadi dahulu, kini bukan lagi menjadi faktor penghambat. Ini karena ijazah Mu’adalah sudah setingkat pendidikan formal lainnya. Tentu saja, proses menuju Mu’adalah tidak serta merta (taken for granted) terjadi, tetapi melalui proses seleksi yang ketat. Pemerintah harus menilai beberapa hal, seperti komponen penyelenggara pendidikan, status pesantren, serta penyelenggara pesantren (hal 199).

Dengan suksesnya pesantren meningatkan kualitas pendidikannya berkat perhatian pemerintah, ke depan negri ini akan dipenuhi generasi yang cakap dalam intelektual dan luhur dalam moral. Mereka adalah generasi yang siap memajukan bangsanya dengan segenap jiwa raga. Bukan generasi bermental uang maupun kekayaan yang justru akan merusak bangsa ini. Kasus-kasus akut seperti korupsi yang justru banyak dilakukan oleh ‘orang-orang pintar’, pada akhirnya akan sirna karena ke depan orang-orang pintar tersebut lahir dari rahim pesantren yang berdedikasi tinggi dalam menjaga moralnya.

*) Peresensi adalah Ketua Tanfidziyah PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta

Read Full Post »

Students and Corruption

We have seen together, until this moment, corruption is still a tricky problem for the Indonesian nation. The transition from “Orde Baru” government to “the reformation” had not been able to cure the ‘disease’ that one. The freedom offered by “the reformation” makes this disease the more fertile and spread to more various life aspects.. In Gatra magazine noted, “In the era of reformation, corrupt practices even spread in all directions not only in the realm of bureaucracy”. Why can happen so, when it can be said that the initiator of the Reformation era is the youth and students are known for his high sense of idealism?

Perhaps one answer is that students – particularly students abroad – has done “sins” that he never realized. Actually I was afraid to call it a sin, so I am? That’s why I wrote it in quotation marks. So that word can be replaced with other words, such as ignorance or kekurangmautahuan (Indonesian Language).

On the way of minal mahdi his ilal lahdi, “student” is one of way that choosen by some Indonesian people. Of course, this road is very good, even fairly prestigious. I call it as a highway road. With the highway road, the chaotic traffic of this country will be able to overcome. But unfortunately, the highway just make minal mahdi his ilal lahdi curves of a student has a negative gradient due to ignorance or kekurangmautahuan.

Car they drive is dishonesty UAN, a ticket that they use is SKTL manipulation, the gateway that they passed is mafia of SNMPTN. The money was used to pay is a cash prize.

I’m so afraid to write this  – let alone to publish it, fear wrong and nonsense. Therefore, I stay here ends meet let me no more nonsense. This paper is not going to vilify the students, because I am also a student *. I just remind myself not to play games with time, not playing with promise. The promise that made me afraid to be a student and many times thought of leaving.

“O God, give us the strength to do this duty, and give us the power and ability to perform the duties of servants. Because there is no power except from you. “

Soeroboyo, 19 February 2010

Read Full Post »