Kiranya telah lama aku berjalan, hingga jiwaku terasa lelah dan letih. Sendiri aku berjalan, meniti jalanan yang sepi ini. Sesekali kusinggahi ruang-ruang yang terpancari oleh sinarnya lewat sela-sela waktu. Namun, sesampai di tempat itu, tak kulihat lagi sinar wajahnya. Yang tersisa hanya bekas-bekas jejaknya. Meski begitu, itu sudah sedikit mengobati rasa rindu yang terselinap di dalam kalbu.
Aku terus berjalan menyusuri lembah sunyi. Aku lesatkan beribu anak panah kerisauan hati, walau kutahu cuma akan menancap di bilik kekosongan. Aku berteriak kepada semesta sekeras-kerasnya, demi meluapkan beban jiwa dan rindu yang lama tak terobati. Terkadang aku malah bergumam sendiri, melafalkan kalimat-kalimat yang gak jelas meskipun untuk kudengar sendiri.
Dia pernah serasa dekat sekali dan ada bersamaku. Waktu itu, hariku semerbak bak harum bunga di taman. Kehidupan terasa begitu damai bersama kesejukan cinta dan keteduhan kasih sayang. Namun entahlah, kenapa dia seakan pergi dariku dan enggan menyapaku kembali? Kini, yang tersisa hanyalah sepi sendiri.
Berwaktu-waktu aku merindukan kehadirannya. Betapa pilu hati ini ketika merindukan sang pelita hati dan tak jua bertemu kembali. Hingga pada sepanjang waktu aku cuma bisa menanti dan terus menanti.
Rasa ini bagai ombak yang terus bergulung-gulung di tengah samudera. Tak pernah ia tahu, apakah sang pantai akan menyambutnya? Ia seperti butiran embun yang tak kunjung disapa sinar pagi. Seperti kemarau, ia berharap hujan segera datang untuk membasahi.
Diriku disekap oleh perjalanan hati di lautan sunyi. Di tengah-tengah kesunyian hati itulah, aku sering kali melantunkan nyanyian sunyi. Kususun puisi-puisi yang memang khusus kuperuntukkan buatnya. Puisi-puisi itu kian menyayat hati bila kubaca di keheningan malam. Dengan hati terpana kusimak bait demi bait, untuk sekedar menyeka air mata jiwa. Inilah satu-satunya sepenggal peristiwa yang sering kali dapat menjadikan jiwaku tersenyum hakiki. Bukankah keheningan sepertiga malam senantiasa menggiring seseorang menuju kebeningan? Dan dari kebeningan hati itulah, terpancar do’a tulus untukmu. Do’a yang akan senantiasa mengalir, meski tanpa kau pinta dan tanpa pernah kau anggap ada. Wa Allah a’lam. Mohon maaf jika selama ini saya banyak salah, in dlolaltu fainnamaa adlillu ‘ala nafsi…
Aku tak akan berhenti menemani dan menyayangimu
hingga matahari tak terbit lagi
Bahkan bila aku mati, ku kan berdo’a pada Ilahi
tuk satukan kami di surga nanti
(wali)